Senin, 24 Desember 2018

Prof.Quraish Shihab: Sucikan Nama Tuhanmu, Jangan Takbir Untuk Perpecahan


Kemarin, (Kajian Membumikan al-Quran) di PSQ tampak berbeda. Kalau biasanya ruangan yang biasa dipakai untuk diskusi bulanan ini tampak lengang, kali ini ini ruangan PSQ sampai penuh sesak. Lalu apa yang menyebabkan animo mahasiswa—baik mahasiswa s1, s2 dan s3—begitu besar? Jawabannya satu. TGB Dr. Zainul Majdi effect. Selain TGB, tentu saja ada tuan rumah PSQ, Dr. Muchlis Hanafi dan tentunya Prof. Quraish Shihab.
Diskusi lebih menantang dan menarik karena tema yang diusung adalah tentang “Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah”. Diskusi ini dibuka oleh Muchlis dengan sangat santai namun berisi. Ia langsung menukil pendapat Syahrastani dalam kitabnya Milal wa al-Nihal, menurutnya persoalan yang paling banyak menyita energi umat Islam dari zaman dahulu adalah ikhtilaf fil Imamah atau perbedaan cara pandang terkait Imamah atau kepemimpinan.
Muchlis menuturkan bahwa dalam al-Qur’an, kata khalifah dan derivasinya tidak ada satu pun yang menunjukkan secara pasti bahwa makna khalifah merupakan kepemimpinan dalam satu wilayah.
Ia sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam itu mengatur seluruh aspek kehidupan (mu’amalahj, aqidah, politik dll.) Akan tetapi, kalau bicara tentang negara dan politik apakah al-Qur’an menentukan secara pasti tentang mekanisme pemilihan, bentuk negara, dan lain-lain? ini yang harus terus diperhatikan.
Dalam konteks Indonesia, apabila kita masih mempersoalkan hubungan agama dan negara—dalam arti prinsip dasar dan bentuk negaranya—maka kita sebenarnya telah bergerak mundur. “Sekarang kita tinggal memilih, mau capek-capek membongkar dasar negara yang sudah ada, lalu diganti dengan dasar atau konsep yang belum jelas bentuknya, atau lebih baik bagi kita untuk memperbaiki negara ini, dengan pedoman dasar Pancasila yang sudah ada (yang tentunya mengandung nilai-nilai Islam)?” lebih baik lagi apabila kita mampu memimpin diri kita sendiri menjadi lebih baik (khalifah) di bumi ini, tuturnya.
Beberapa saat kemudian, giliran TGB bicara. Ia memulai pembicaraan dengan konsep kepemimpinan dalam tradisi ahlussunnah wa al-Jamaah. Menurutnya, kepemimpinan dalam ahlussunnah itu masuk dalam bab fiqh, berbeda dengan syi’ah yang menganggap Imamah bagian dari aqidah. Sehingga, tidak perlu mengkafirkan, sesat menyesatkan, dll. yang sifatnya menjelek-jelekkan sesama muslim. Karena dalam bab fiqh, bukan bab aqidah, perbedaan itu hal yang sudah sangat biasa.
Ia melanjutkan, “Imamah atau khilafah itu selalu dibahas dalam konteks fungsi, bukan terkait sistem. Maka dari itu semua ulama’ mengatakan bahwa wajib hukumnya keberadaan seorang pemimpin. Supaya apa? Hak dan kewajiban umat Islam terjamin, masyawakat makmur, hubungan dengan masyarakat berbeda agama pun dapat harmonis”.
“Lalu, apa yang dimaksud dengan Daulah Islamiyah?” Tanyanya kepada audiens. Menurutnya, dalam fiqh tidak ada pembahasan ini, yang ada hanyalah perbedaan antara Darul Kufri dan Darul Islam. Ulama’ pun berbeda terkait pengertian Darul Islam. Ada yang berpendapat bahwa Darul Islam adalah negara yang diduduki mayoritas umat Islam (seperti Indonesia), namun ada juga yang mengatakan bahwa disebut Darul Islam itu selama umat Islam—meski minoritas—tetap mampu menjalankan syariatnya, semisal shalat, puasa, dll.
Sebagai penutup acara, Prof. Quraish Shihab juga diminta untuk memberikan pesan kepada para audiens. Ia menyinggung kelompok yang sering menggunakan kalimat takbir sebagai pemicu amarah. “Sucikanlah nama Tuhanmu, jangan bertakbir yang bisa membuat orang-orang berpecah belah” ucap beliau sembari berkaca-kaca.
ZAIMUL ASRORMahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jumat, 07 Desember 2018

Hati Hati, Ini Tiga Karakter Berpikir Kelompok Khawarij


Pasca perdamaian antara kubu Imam Ali  dan Sayyidina Muawiyah muncul kelompok yang menolak dari keputusan Imam Ali untuk menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada awalnya kelompok ini berpihak pada Imam Ali, namun karena keputusan Imam Ali untuk menerima perdamaian melalui proses arbitrase dengan pihak Sayyidina Muawiyah, keputusan itu dipandang sebagai langkah mundur dari menegakkan agama dan keraguan dalam iman serta mengambil hukum bukan dari hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala.
Kelompok itu kemudian dikenal dengan sebutan khawarij – yang bermakna orang-orang yang keluar dari kelompok Imam Ali. Khawarij beranggapan bahwa siapa saja yang mengikuti dan menerima proses tahkim , maka telah keluar dari ajaran dan syariat Islam dan halal darahnya untuk dibunuh. Terbunuhnya Imam Ali oleh tokoh khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam, ialah salah satu bentuk kebengisan dan kekejaman kelompok ini.
Khawarij inilah yang menjadi biang kerok perpecahan umat Islam di era awal kejayaan Islam. Pemikirannya yang ekstrim dengan mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang diluar golongannya adalah awal dari perpecahan umat Islam.
Walaupun sebagai golongan, kaum khawarij telah lama punah berkat kekhalifahan Dinasti Umayyah dengan menghentikkan gerakan ekstrim ini, namun karakteristik pemikiran khawarijisme masih ada sampai saat ini. Karakarteristik pemikiran khawarij masih dapat kita jumpai disekitar lingkungan kita. Berikut ini karakteristik kaum khawarij:
Pertama, cara berpikir yang formalistis. Maknanya ialah mereka sangat ketat berpegang pada peraturan dan tata cara yang berlaku dalam agama atau ajaran yang mereka anut. Pemahaman ini dapat dilihat dari pendapat mereka mengenai pelaku dosa besar, bahwasanya pelaku dosa besar – seperti orang yang berzina, meninggalkan sholat, lari dari peperangan, dan lain sebagainya, telah kafir atau keluar dari agama Islam dan halal darah dan hartanya, serta harus diusir dari kekuasaan wilayah umat Islam.
Khawarij juga berpendapat siapa saja yang mengikuti perang Jamal (perang antara kubu Imam Ali dan kubu Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah, Sayyidina Thalhah dan Zubair) dan menerima dan mengikuti keputusan hasil tahkim antara Imam Ali dan Muawiyah, mereka semua itu telah kafir dikarenakan mereka tidak berhukum atau berpegang teguh dengan syariat Islam.
Kedua, pemahaman tekstualitas terhadap ayat-ayat suci. Khawarij sangat patuh dengan ayat-ayat formal dari Al Qur’an, sehingga mereka tidak mau dan mampu menemukan makna yang tersirat dari tiap ayat yang terkandung di dalamnya. Jargon mereka ketika menfatwakan bahwasanya Imam Ali As. telah kafir yakni tidak ada hukum selain hukum Allah yang mereka ambil dari makna yang terdapat dalam surah Al Maidah ayat 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Mereka tidak melihat sebab-sebab turunnya ayat dan makna yang tersirat dari ayat tersebut, padahal Mufasir di era Sahabat Nabi Saw. yakni Sayyidina Abdullah bin Abbas menafsirkan bahwa kafir disitu bukanlah kafir akidah, melainkan kekufuran dibawah kekufuran.
Ketiga, sempurna dalam ibadah, kurang dalam ukhuwah. Khawarij sangat bersemangat jika diserukan untuk melakukan ibadah ritual keagamaan – seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, dan lain-lain. Namun, kurang bersemangat jika diajak untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Kekakuan dalam bersosialisasi di tengah masyarakat itu disebabkan karena mereka sulit menerima dan menghormati pemikiran kelompok lain.
Karakteristik kaum Khawarij yang telah dijelaskan di atas sebaiknya dijauhkan dari pemikiran dan perilaku diri dan keluarga kita. Sehingga, kita ikut andil dalam mengurangi sebab-sebab perpecahan umat Islam saat ini.
Wallaahu a’lam.

Bagaimana Bisa Agama Kehilangan Akhlak

Tertangkapnya anak muda yang mengancam akan memenggal kepala presiden RI menambah daftar dampak absennya budi pekerti dalam pendidikan k...