Minggu, 08 Juli 2018

Memadukan Nilai Universal dan Lokal Islam

Sepanjang sejarah Islam dari masa Nabi Muhammad sampai sekarang, Islam mengandung nilai-nilai universal dan lokalitas sekaligus. Keduanya saling isi mengisi dan tidak bisa terpisahkan sampai akhir jaman kelak. Inilah ciri Islam dimana Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir, yaitu menebarkan nilai-nilai universal tapi juga mengadopsi nilai-nilai lokal.

Persaudaran umat Islam adalah nilai universal, namun Nabi Muhammad tetap mengakui lokalitas dengan memberi istilah kaum Muhajirin dan Anshor. Muhajirin berasal dari Mekkah yang hijrah ke Madinah, sedangkan Anshor adalah mereka yang tinggal di Madinah dan menerima serta menolong kaum Muhajirin untuk bisa nyaman dan aman tinggal di Madinah.

Apakah nilai universal persaudaraan Islam menjadi rusak karena pembagian dua kelompok Muhajirin dan Anshor ini? Tentu tidak demikian. Justru mereka dipersaudarakan dalam naungan Islam.

Rasulullah yang berasal dari suku Quraisy juga tetap memelihara jati dirinya dengan mengatakan “pemimpin itu dari suku Quraisy”. Pada saat yang sama turun ayat al-Qur’an semisal surat al-Hasyr:9 dan sekian banyak pernyataan Nabi akan keutamaan kaum Anshor.

Pointnya adalah berbeda tapi tetap bersaudara. Nilai universal persaudaraan Islam dijadikan pijakan, namun perbedaan peran masing-masing pihak tetap diakui. Indah bukan?

Rasulullah juga tidak begitu saja membuang nilai-nilai lokal. Mana yang baik dan masih bisa diiadopsi dalam ajaran Islam, akan Rasul ambil. Yang jelek dan bertentangan dengan aqidah akan Rasul tolak. Misalnya, praktik mengubur anak perempuan hidup-hidup dikecam dan dilarang dengan tegas. Namun dalam hal kewarisan, konsep ashabah yang berasal dari tradisi lokal saat itu diadopsi oleh Rasul ke dalam hukum Islam.

Bahkan untuk mengubah tradisi yang sudah sangat mengakar, yaitu minum minuman  keras, Rasulullah menerapkan metode gradual alias berangsur-angsur.  Jadi tidak semua hal universal diterapkan begitu saja, atau sebaliknya, tidak semua hal lokal di buang seluruhnya. Semua dipilah, dipadukan dan diukur dalam balutan Islam yang rahmatan lil alamin. Indah bukan?

Rasulullah hidup di Madinah, dan para sahabat menyaksikan kesehariaan beliau Saw. Maka tradisi atau amalan penduduk Madinah bisa dipakai untuk menelusuri ulang Sunnah Nabi. Ini karena Sunnah Nabi dianggap sudah menjadi tradisi lokal penduduk Madinah. Itulah sebabnya Imam Malik menjadikan kesepakatan amal dari penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Bahkan jikalau ada hadits ahad bertentangan dengan tradisi lokal penduduk Madinah, maka Imam Malik mendahukukan amal ahli Madinah.

Kalau beliau hidup di jaman medsos, bisa-bisa sudah dikepcer dan diviralkan seolah Imam Malik mengedepankan tradisi lokal ketimbang Hadits Nabi. Bukan itu!

Hadits ahad itu hanya satu orang yang meriwayatkan, sedangkan amal ahli Madinah —yang diasumsilan berasal dari tradisi keseharian Nabi Muhammad— dikerjakan oleh banyak orang atau oleh penduduk sekampung Madinah. Tentu Imam Malik lebih menerima amalan yang dikerjakan lebih banyak orang ketimbang narasi satu orang saja.

Sampai di sini, semakin jelas terlihat kaitan antara keuniversalan Islam dengan tradisi lokal. Indah bukan?

Contoh lain: di masa Nabi hidup penduduk Madinah masih sedikit. Jadi, kalau Bilal Radhiyallah ‘Anhu mengumandangkan suara azan memanggil shalat, suaranya terdengar oleh semua orang saat itu. Namun di masa Khalifah Utsman, penduduk Madinah semakin ramai, dan wilayah kota semakin luas, suara azan tidak lagi bisa didengar oleh semuanya.

Kalau untuk shalat biasa, tentu ada kesempatan untuk mengerjakan shalat dimana saja asalkan masih pada waktunya. Tapi untuk shalat Jum’at yang berjamaah akan sulit kalau banyak pihak yang tidak ngeh sudah mausk waktu Jum’atan. Belum ada jam tangan atau loud speaker seperti saat ini. Maka Khalifah Utsman menambah jumlah azan Jum’at agar orang di pasar bisa bersiap diri untuk ke masjid.

Di tanah air masih banyak Masjid yang azan Jum’atnya dua kali memgikuti tradisi lokal pada masa Khalifah Utsman. Padahal tradisi Nabi azan Jum’at cuma sekali. Para Kiai mengadopsi keduanya: ajaran Nabi Muhammad dan tradisi Khalifah Utsman. Keduanya tidak dipertentangkan tapi diterima dengan baik.

Bukan cuma itu. Sekali lagi karena ketiadaan loud speaker seperti sekarang, dulu para Kiai juga membolehkan untuk menabuh beduk sebelum dikumandangkan azan. Jadi, yang lokasinya berjauhan dari Masjid tidak akan mendengar suara azan, tapi dia akan mendengar suara beduk. Fungsi beduk bukan memggantikan azan, namun sebagai alat membantu umat agar tahu datangnya waktu shalat. Fungsi beduk, tak ubahnya seperti penambahan azan Jum’at oleh Khalifah Utsman.

Sebagian Masjid di tanah air masih memelihara kearifan lokal dengan memukul beduk menjelang azan. Sebagian lagi sudah menggantinya dengan loud speaker sehingga suara azan terdengar dimana-mana. Semuanya indah bukan?

Saat Islam sudah menyebar ke luar wilayah Hijaz, masalah budaya lokal ini kembali mencuat. Imam Abu Hanifah yang tinggal di Kufah tidak mungkin selalu merujuk kepada tradisi lokal Madinah. Komunikasi dan transportasi belum seperti sekarang. Maka kitab-kitab fiqh biasa menyebut berbagai perbedaan pandangan antara Ahlul Hijaz dan Ahlul Kufah. Perbedaan lokasi membuat mereka berbeda menafsirkan dan menerapkan ayat dan sunnah.

Untunglah ada Imam Syafi’i yang belajar melintasi wilayah Hijaz dan Kufah. Beliau belajar di Madinah, tapi juga belajar dan mengajar di Baghdad, lantas pindah pula ke Mesir. Beliau bersentuhan dengan berbagai tradisi lokal. Tidak heran mazhab Syafi’i mengeluarkan teori ‘urf (adat) sebagai salah satu sumber hukum Islam. Beliau pun mengubah sejumlah fatwanya di Baghdad ketika melihat perbedaan situasi lokal di Mesir.

Kitab klasik Ushul al-Fiqh dan Qawa’id Fiqh menjelaskan bagaimana peranan tradisi lokal dalam menetapkan hukum Islam. Contoh: jikalau saat ijab-qabul pernikahan tidak disebutkan jumlah mahar, maka berlakulah mahar mitsil. Mahar mistil adalah ketentuan jumlah mahar yang ditetapkan besarannya oleh pihak wanita berdasarkan adat yang berlaku di lingkungannya atau keluarganya. Adat setempat menjadi solusi yang diterima dalam hukum Islam.

Ulama Nusantara bertindak lebih jauh lagi dengan mengadopsi aturan harta gono-gini. Kalau terjadi perceraian maka harta bersama suami-istri akan dibagi. Ketentuan ini tidak terdapat dengan jelas di fiqh klasik. Tapi karena sudah menjadi tradisi lokal di Nusantara maka para ulama menerimanya dan Kompilasi Hukum Islam secara resmi mengadopsinya. Para hakim di Pengadilan Agama menerapkan ketentuan harta gono-gini ini.

Dasar dari pengadopsian nilai-nilai lokal adalah kaidah yang berasal dari Hadits Nabi riwayat Ibn Mas’ud:

ما رآه المسلمون حسنا فهوعند الله حسن

Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka baik juga di sisi Allah.

Maka para ulama menyodorkan kaidah-kaidah seperti di bawah ini:

العادة محكمة

(adat itu dapat menjadi dasar hukum)

لا ينكر تغير الأحكام بتغيرالزمان والمكان

(tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat)

المعروف عرفا كا المشروطشرطا

(sesuatu yang sudah dikenal sebagai ‘urf, ia akan berlaku sebagaimana yang telah disyaratkan oleh Nash)

الثابت بدلالة العرف كالثابتبدلالة النص

(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengaan yang ditetapkan melalui Nash)

Sampai di sini, sudah jelas bahwa Islam itu mengandung muatan lokal, selain mempertahankan nilai-nilai universal keislaman. Sekali lagi, indah bukan?

Kalau di masa Nabi Muhammad lokalitas dimaknai salah satunya dengan melestarikan tradisi kaum Muhajirin dan Anshar, mengambil tradisi Arab jahiliyah yang baik, dan dimasa para imam mazhab ada istilah ahlul hijaz dan ahlul kufah, maka setelah Islam meluas sampai ke berbagai benua, apakah nilai-nilai lokal ini masih ingin kita pelihara, atau kita hanya ingin yang universal saja?

Para ulama dan cendekiawan di berbagai negeri sudah menjawabnya.

Islam Hadhari muncul secara resmi di Malaysia tahun 2004 oleh Perdana Menteri Abdullah Badawi. Sebelumnya,  European Islam atau Euro-Islam masing-masing dikemukakan oleh Prof Tariq Ramadhan dan Prof Bassam Tibi. Tariq menyampaikan istilah European Islam (Islam Eropa) lewat bukunya pada tahun 1999. Tujuh tahun sebelum Tariq, Bassam Tibi sudah mengenalkan istilah Euro-Islam di tahun 1992.

Syekh al-Albani juga berfatwa bahwa tidak cukup hanya bilang saya Muslim. Syekh al-Albani menegaskan bahwa seorang pengikut Salafi harus mengatakan saya itu islam-nya mengikuti Islam salafi, untuk membedakan dengan Islam kelompok lain. Di tanah air kawan-kawan Muhammadiyah menggunakan istilah Islam Berkemajuan. Sementara itu kawan-kawan PKS banyak yang berkecimpung dalam pendirian Sekolah Islam Terpadu.

Jadi sudah beredar luas ada Islam Hadhari, Islam Eropa, Islam Salafi, Islam Berkemajuan dan Islam Terpadu. Aqidah Islam tetap satu dan universal, namun aplikasi dan ekspresinya bisa berbeda-beda.

Indah bukan?

Kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sejak Muktamar 2015 menggunakan istilah Islam Nusantara. Bermula dari penegasan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan pendiri NU lainnya tentang Indonesia dan Nasionalisme yang berujung pada Resolusi Jihad. Kemudian penerimaan NKRI sebagai bentuk final oleh KH Ahmad Siddiq. Lantas Gus Dur menegaskan keindonesian dan keislaman dengan ide beliau akan pribumisasi Islam. KH Hasyim Muzadi, sebagai pelanjut Gus Dur, menegaskan untuk menolak Islam Transnasional untuk masuk ke tanah air. Semuanya itu menjadi pondasi bagi KH Said Aqil Siradj untuk menegaskan keberadaan Islam Nusantara pada tahun 2015.

Semuanya berasal dari sejarah perjuangan Nabi Muhammad, Imam mazhab dan kaidah yang dirumuskan para ulama klasik untuk menebarkan Islam yang rahmatan lil alamin sebagai nilai-nilai universal, dan mengadopsi kearifan lokal.

Indah bukan?

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Dosen Monash University, Australia serta Rais Syuriah Pengurus Cabang Internasional NU (PCI-NU) Australia-Selandia Baru

https://islami.co/memadukan-nilai-universal-dan-lokal-islam ##muslimsejati#kontranarasi#bloggerislam#

Benarkah Orang Arab Lebih Utama Dalam Islam

Sebelum Rasulullah wafat, beliau memberikan khutbah di saat haji wada’. Pesan ini sangat penting karena isinya universal. Saya kutip sebagian teksnya dari Musnad Ahmad (Hadts Nomor 22391):

‎وعن أبي نضرة قال: «حدثني من سمع خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال: ” يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى، أبلغت؟ “. قالوا: بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah SAW ditengah-tengah hari tasyriq, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.”

Kitab Majma’ Zawaid (3/266) mengatakan perawinya sahih. Kalau belum yakin juga dengan kesahihan Hadits di atas, Saya kutipkan dari tokoh yang menjadi rujukan utama kawan-kawan Wahabi: Syekh al-Albani yang juga mengatakan riwayat di atas sahih (as-sahihah, 6/199).

Riwayat di atas secara blak-blakan dan apa adanya menyebut tidak ada kelebihan seorang manusia di atas manusia lainnya berdasarkan etnik dan warna kulit. Sabda Nabi SAW sesuai dengan pesan al-Qur’an: “Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa” (QS al-Hujirat:13). Nabi tegaskan: “tidak ada keutamaan orang Arab di atas orang non-Arab.” Dahsyat sekali pesan Rasulullah di akhir hayatnya ini.

Tapi sayang masih ada segelintir pihak yang merasa minder dan merasa kurang islami berhadapan dengan orang Arab. Semua hal yang ber-bau Arab dianggap lebih baik dari tradisi lainnya. Mereka mendasarkannya pada sejumlah riwayat. Saya kutip dari Sunan at-Tirmidzi beberapa riwayat tersebut.

Sunan at-Tirmidzi (Hadits Nomor 3862):

Nabi bersabda: “Wahai Salman, janganlah kamu membuatku marah, hingga kamu dapat berpisah dari agamamu.” Kataku (Salman); “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku membuatmu marah, padahal dengan perantaraanmu lah Allah memberi petunjuk kepada kami.” Beliau bersabda: “yaitu Kamu membuat orang-orang Arab marah maka sama dengan kamu telah membuatku marah.”

Imam Tirmidzi memberi catatan penting: “Hadits ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Abu Badr Syuja’ bin al Walid. Dan saya mendengar Muhammad bin Isma’il (yaitu Imam Bukhari) berkata; “Abu Dhabyan tidak pernah berjumpa dengan Salman, karena Salman meninggal dunia sebelum Ali (meninggal).”

Penting buat kita membaca catatan Imam Tirmidzi di atas karena Hadits ini seolah mengatakan kalau kita membuat orang Arab marah, mana Nabi pun ikut marah dan aqidah kita bisa lepas. Bahaya banget kan?! Syukurlah ternyata ini Hadits gharib (asing/menyendiri). Dalam terminologi Sunan at-Tirmidzi, istilah Hadits gharib itu maknanya serupa dengan Hadits dha’if.

Ada Hadits lain dari Sunan at-Tirmidzi (nomor 3863):

Dari Utsman bin ‘Affan dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menipu orang-orang Arab, maka ia tidak akan masuk (dari golongan yang akan) mendapatkan syafa’atku, dan tidak pula mendapatkan kasih sayangku.”

Luar biasa kan? Kalau orang Arab kena tipu, maka yang menipu gak disayang Nabi dan gak dapat syafaat Nabi. Duh, gimana kalau kita yang ditipu sama Arab? Kok rasanya gak fair sih? Bagaimana kedudukan riwayat di atas?

Imam at-Tirmidzi berkata; “Hadits ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Hushain bin Umar al-Ahmasi dari Mukhariq dan menurut ahli hadits, riwayatnya Hushain tidaklah kuat.”

Kembali lagi, ini ternyata juga Hadits gharib.

Jadi jelas sudah bahwa Hadits yang mengatakan tidak ada kelebihan orang Arab di atas bangsa lainnya itu sahih. Sedangkan riwayat keutamaan bangsa Arab patut kita pertanyakan. Tapi jangan salah. Kita juga tidak boleh menghina orang Arab. Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an. Jalur nasab Arab itu mulia hingga melahirkan Nabi Muhammad SAW. Nabi mencintai kota Mekkah. Nabi Muhammad juga orang Arab. Tidak mungkin kita membenci atau melecehkan bangsa dan tradisi Arab.

Bangsa Arab punya kelebihan, tentu itu benar. Misalnya mereka terkenal hafalannya kuat. Tapi bukan berarti kelebihan itu membuat semua orang Arab menjadi superior dari orang non-Arab. Orang Arab yang tidak bersekolah dan tidak bisa baca-tulis di masa modern ini tentu akan tertinggal dari bangsa lain yang mengamalkan perintah Iqra’.

Mayoritas sahabat Nabi juga orang Arab. Tidak boleh kita membenci sahabat Nabi. Tapi jangan lupa, ada juga sahabat Nabi yang bukan orang Arab, seperti Salman dari Parsi dan Bilal dari Etiopia (habasyah). Kita juga harus mencintai sahabat non-Arab.

Di awal perkembangan Islam, banyak ulama besar dari Arab. Imam Malik itu lahir dan besar di Madinah. Namun jangan lupa, juga banyak orang non-Arab yang menjadi ulama dan jasanya juga besar dalam sejarah Islam. Misalnya AbuHanifah dari Kufah keturunan Parsi. Begitu juga Imam Bukhari yang bukan orang Arab.

Sejarawan besar seperti Ibn Khaldun juga kritis terhadap orang Arab. Beliau misalnya membahas dalam salah satu bab di kitabnya “Muqaddimah” bahwa bangsa Arab hanya dapat berkuasa dengan mengambil sentimen keagamaan seperti kenabian dan kewalian. Bahkan tanpa tedeng aling-aling Ibn Khaldunmenulis satu bab: bangsa Arab paling jauh dari keahlian. Ibn Khaldun menulis:

‎و لهذا نجد أوطان العرب و ما ملكوه في الإسلام قليل الصنائع بالجملة، حتى تجلب إليه من قطر آخر. و انظر بلاد العجم من الصين و الهند و أرض الترك و أمم النصرانية، كيف استكثرث فيهم الصنائع و استجلبها الأمم من عندهم

“Kita mendapati wilayah Arab dan berbagai wilayah yang mereka tundukkan dengan bendera Islam demikian terbelakang secara keseluruhan sehingga harus mendatangkan (keahlian) dari wilayah lain. Lihatlah kerajaan di luar Arab seperti Cina, India, tanah Turki dan bangsa Kristen, bagaimana mereka banyak memproduksi berbagai macam keahlian dan banyak bangsa lain yang mengambil (keahlian) itu dari mereka”

Dalam bab lain, masih di kitab Muqaddimah, ibn Khaldun menulis bab “kebanyakan ilmuwan Muslim adalah kaum non-Arab”. Dalam uraiannya beliau menyebutkan bahwa ahli bahasa penyusun ilmu nahwu bukan dari Arab, yaitu Sibawaih, al-Farisi, dan az-Zajjaj. Begitu juga para perawi Hadits, ulama ushul al-fiqh, ilmu kalam dan ahli tafsir juga kebanyakan non-Arab.

Tentu bukan maksud Ibn Khaldun merendahkan orang-Arab karena beliau pun orang Arab. Ibn Khaldun (lahir 27 May 1332- wafat 17 Maret 1406) lahir di Tunis, keturunan Hadramaut Yaman yang nasabnya bersambung ke Hujr bin Adi salah seorang sahabat Nabi Muhammad.

Ibn Khaldun menulis catatan di atas dalam konteks untuk tidak melebih-lebihkan orang Arab dan kontribusi mereka terhadap dunia ilmu. Karena ternyata catatan sejarah mengatakan orang non-Arab pun juga berjasa dalam kemajuan Islam.

Nah, saling menghormati itu enak kan?

Orang Jawa tidak usah merasa lebih hebat; begitu juga orang Cina, atau Jerman. Semua bangsa telah berkontribusi, sekecil apapun, terhadap peradaban dunia saat ini. Respek kepada semuanya; hindari kebencian pada suku atau bangsa tertentu.

Mari kita gelorakan kembali pesan universal kemanusiaan yang disampaikan Nabi Muhammad pada khutbah wada’nya. Semangat persaudaraan atas dasar kemanusiaan ini yang akan menjadi dasar perdamaian dunia. Semoga!



NADIRSYAH HOSEN
Dosen Monash University, Australia serta Rais Syuriah Pengurus Cabang Internasional NU (PCI-NU) Australia-Selandia Baru

https://islami.co/benarkah-orang-arab-lebih-utama-dalam-islam # muslimsejati # bloggerislam

Kamis, 05 Juli 2018

Mencegah Khawarij Milenial di Sekitar Kita


Khawarij, salah satu aliran dalam sejarah islam yang merasa paling benar dan kerap menyalahkan yang lain, ternyata mewujud dalam konteks kekinian (milenial). Tapi, sebelum kita bicara itu, beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan Kalis Mardiasih di sebuah media online mengenai hilangnya kepakaran di media sosial. Ia mengulas bagaimana kondisi media sosial di masa kini begitu mengerikan di mana perbedaan pandangan politik bisa membuat seseorang dicaci maki habis-habisan. ‘Korban’ caciannya pun bukan lagi masyarakat biasa. Seorang tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi tak luput dari ‘serangan’ apabila memiliki pandangan yang berbeda.

Sebagai contoh adalah KH Yahya Cholil Staquf, salah seorang ulama yang mengasuh pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang. Ia yang datang mengisi seminar untuk menebar gagasan Islam rahmah di Yerusalem diserang habis-habisan di media sosial. Caranya pun jauh dari kategori beradab. Hal ini dilakukan oleh orang-orang yang tingkat kepakarannya tentu jauh dari kapasitas kiai yang diserang itu. Anehnya, cara-cara demikian dilandasi dengan semangat membela agama.

Di sini saya tidak ingin membicarakan pilihan politik dan gerakan tagar-tagaran. Yang perlu dikhawatirkan adalah merebaknya generasi yang melakukan sesuatu dilandasi semangat jihad tetap justru menjadi perilaku bejat. Hal ini terjadi karena cekaknya ilmu agama yang dimiliki, sementara semangat untuk belajar tak lagi tertancap di sanubari. Walhasil terjadilah klaim kebenaran dengan menyalahkan pandangan orang lain.

Saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian tentang narasi yang beredar di media sosial. Kami mengambil data dari ribuan akun di Twitter, Instagram, YouTube, dan Facebook, kemudian menganalisa pesan-pesan yang dibawakannya. Pada dasarnya, gerakan ini muncul untuk melakukan takfiri (pengafiran) terhadap paham yang berbeda. Khilafah, hijrah, jihad dan berbagai istilah Islam lainnya hanya digunakan sebagai kedok dalam memperjuangkan klaim kebenaran sepihak itu. Tentu saja tidak semua orang yang berjuang atas nama khilafah, hijrah, atau jihad hanya menggunakan bahasa agama sebagai kedok. Namun harus diakui, kelompok takfiri menunggangi isu-isu agama untuk menyerang pihak yang berbeda.

Di antara ribuan akun, kami mengamati ada banyak akun-akun yang dimiliki oleh anak muda usia produktif antara 18-30 tahun. Dalam istilah demografi, mereka dikategorikan sebagai generasi Y atau generasi milenial. Generasi ini disebut-sebut sangat akrab dengan teknologi sehingga untuk mencari informasi, mereka menggunakan teknologi sebagai sumbernya. Muncullah istilah ‘belajar bersama Mbah Google’.

Belajar di internet bukanlah sebuah kesalahan selama prinsip-prinsip mencari ilmu tetap digunakan. Salah satu prinsip mencari ilmu adalah adanya petunjuk dari sang guru. Maksudnya adalah seseorang yang tengah mencari ilmu seharusnya memiliki seorang guru yang mengarahkan. Ini dikarenakan cakupan ilmu yang sangat luas. Ada banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh seorang murid ketika mempelajari sebuah ilmu. Gurulah yang kemudian menjadi jembatan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang yang menyatakan dirinya belajar otodidak berlaku pragmatis dengan menyeleksi kebenaran sesuai keinginannya dengan menutup kebenaran lainnya. Ini sangat berbahaya apalagi jika menyangkut persoalan agama. Sebab jarak antara Nabi Muhammad SAW dengan kita hari ini sudah hampir 15 abad, tentu ada banyak hal-hal yang perlu dipelajari dengan membaca berbagai literatur.

Tingkat bahaya ini semakin besar ketika agama dibawa ke ranah politik. Saya tidak mengatakan agama tidak mengajarkan politik, sebab salah satu yang diajarkan Nabi selama hidupnya adalah mengelola masyarakat. Mengelola masyarakat dalam term ilmu politik sudah disebut sebagai kegiatan politik. Namun pengertian politik yang disempitkan dengan ideologi tertentu inilah yang banyak madharatnya. Padahal Islam mengajarkan agar politik itu membawa masyarakat pada maslahah (kebaikan), bukan masalah.

Sejarah Islam sudah menunjukkan betapa mengerikannya penggunaan agama dalam kegiatan politik. Yang menjadi korban bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga para sahabat Nabi. Misalnya saja Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang menjadi korban orang-orang berpaham khawarij yang memvonis Khalifah Ali tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Akhirnya kelompok ini membunuh salah seorang yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad itu dengan cara biadab mengatasnamakan kesucian agama.

Di sinilah letak berbahayanya agama dalam politik jika digunakan untuk membenci pihak lain. Jika ada seorang tokoh yang berseberangan dengan lawan politik langsung dieluk-elukkan. Sementara jika tokoh tersebut berbalik mendukung lawan politik tersebut, secara otomatis segala kebaikannya dilupakan berganti dengan cacian, disebut sebagai kaum munafik, anti-Islam, dan berbagai tuduhan lainnya. KH. Ma’ruf Amin dan Tuan Guru Bajang adalah beberapa tokoh yang mendapat serangan dari kelompok tersebut karena memilih bersikap netral dalam berpolitik, mengkritik jika keliru dan memuji jika benar. Sayangnya, kelompok ini begitu bahagia ketika kebencian terus diterbarkan.

Sikap berpolitik ala kacamata kuda adalah ancaman nyata bagi masa depan negeri ini. Apalagi jika generasi milenial yang kelak memimpin punya karakter yang sama dengan kaum khawarij yang menorehkan sejarah gelap dalam sejarah Islam. Perlu langkah nyata untuk mencegah tumbuh suburnya generasi khawarij milenial, salah satunya dengan mendorong mereka mencari guru dalam menuntut ilmu agama. Tentu saja guru yang dimaksud adalah guru-guru yang mencerminkan bahwa mereka mengerti persoalan agama dan memiliki jalur keilmuan yang jelas.

Beberapa ciri guru agama yang sesuai dengan tuntunan agama Islam adalah menghormati orang yang berbeda, baik berbeda mazhab fikih, bahkan beda agama. Jika ada guru yang selalu menebar kebencian pada orang lain dan gemar melabeli sesat pada yang berbeda, perlu dipertanyakan sanad keilmuannya dapat dari mana.

Satu hal yang cukup fundamental bagi generasi milenial agar terhindar dari paham khawarij adalah memperbanyak meniru akhlak Nabi Muhammad dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman. Orang berakhlak Qur’ani tidak akan pernah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan puncak ajaran agama Islam, yakni rahmah atau kasih sayang. Sementara kebencian tidak akan pernah bersanding dengan rahmah. Wallahua’lam

Sarjoko
Aktivis Gusdurian dan Pegiat di Islami Institute.

#islamispeace #kontranarasi #kontra narasi #TerorisBukanIslam #IslamAgamaDamai #TerorisRusakIslam#mediamuslim.net#bloggerkontranarasi#blogger kontranarasi# visimuslim.xyz

Kagum Terhadap Islam Nusantara, 160 Masjid Di Belgia Ingin Datangkan Imam Dari NU

Kamis, 05 Juli 2018

ISLAMNUSANTARA.COM, Bandarlampung – Model Islam di Indonesia (Islam Nusantara) saat ini sudah menjadi rujukan negara-negara di dunia dalam menciptakan kondisi damai dan menyejukkan sesuai dengan tujuan Islam yaitu Rahmatan lil Alamin. Saat ini, Islam Nusantara menjadi tema utama dan sudah ditunggu-tunggu kehadirannya di seluruh dunia. Seperti di Belgia terdapat 168 masjid yang meminta Imam masjid yang berasal dari NU.

Demikian disampaikan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud saat memberikan penjelasan posisi NU menghadapi kondisi kekinian pada Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) Ke-1 NU Lampung di Bandarlampung, Ahad (1/7) malam.

“Negara-negara luar negeri sudah datang ke NU. tidak hanya negara Barat. Uni Eropa, Amerika, Inggris termasuk Timur Tengah dan Afrika,” ungkapnya.

Ia juga mengisahkan tentang perjuangan PBNU yang telah membantu Afghanistan dalam upaya perdamaian negara yang ratusan tahun dilanda konflik ini. Ia mengungkapkan bahwa belum pernah ulama Afghanistan dari suku-suku yang ada, berkumpul dalam satu majelis. Padahal para ulama ini memiliki madzhab dan tarikat yang sama. Namun terus terjadi permusuhan sampai ratusan tahun.

“Dan yang bisa mempertemukan adalah Nahdlatul Ulama,” tegasnya.

Ia mengisahkan bagaimana waktu pertama dikumpulkan di Hotel Borobudur Jakarta, para ulama dari Afghanistan dari berbagai suku ini didudukkan dengan cara selang-seling agar dapat berkomunikasi dengan baik. Namun ternyata mereka tidak mau berkomunikasi karena sejarah panjang konflik antar suku mereka membuat suasana pertemuan tidak mencair.

Pada pertemuan pertama tersebut para ulama Afghanistan mendapatkan cerita tentang perjuangan para ulama Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan para ulama Indonesa dalam mewujudkan NKRI harus menghadapi berbagai tantangan dari berbagai kelompok melalui pengorbanan moril, materiil, jiwa dan raga.

Setelah itu lanjutnya, pada pertemuan kedua yang dilakukan di Turki sudah mulai terlihat perkembangan positif. Terlihat dari sudah terbukanya komunikasi dengan baik. Dan akhirnya pada pertemuan ketiga di Indonesia, PBNU membawa ulama Afghanistan ke pondok-pondok pesantren di Indonesia.

“Saat itulah mereka nangis saling berpelukan dan berkomitmen ingin mendirikan pondok pesantren seperti NU. Konsep seperti Islam di Nusantara inilah yang mereka inginkan ,” katannya menirukan ungkapan hati para ulama Afghanistan.

Akhirnya NU pun menjadi saudara dan ormas NU didirikan di Afghanistan dengan para menterinya menjadi pengurus NU. Dan setelah itulah NU memberikan program bea siswa kepada para pelajar Afghanistan untuk belajar tentang Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama.

“Bagi pondok pesantren di Lampung yang berkenan menampung para pelajar dan santri dari Afghanistan bisa menghubungi PBNU,” katanya seraya menambahkan bahwa bukan hanya ke Afghanistan saja tapi model Islam Nusantara ini diinginkan oleh seluruh negara. (ISNU)

#islamis peace #kontranarasi #kontra narasi #Teroris Bukan Islam #Islam Agama Damai #Teroris Rusak Islam#media muslim.net#blogger kontra narasi#blogger kontranarasi# visimuslim.xyz

Rabu, 04 Juli 2018

Benda Benda Peninggalan Rasulullah Saw


https://www.instagram.com/p/Bj4Ph3YhUvZ/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=1cblopz5kz77i
mediamuslim.net

Negara Islam Hanya Sarana Bukan Tujuan


BincangSyariah.Com – Banyak gerakan Islam, terutama yang ekstrim di kalangan mereka, memulai perjuangan keislamannya dengan pertama-tama mendirikan negara Islam sebagai agenda prioritasnya. Bagi penganut paham ini, mendirikan negara Islam itu wajib hukumnya agar syariat Islam dapat diberlakukan secara keseluruhan, terutama jika kaidah usul: ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwa bihi wajib ‘segala hal yang denganya suatu kewajiban akan terlaksana secara sempurna maka hukumnya wajib’ diperhatikan.
Kaidah ini sebenarnya diambil dari kasus-kasus parsial dalam fikih seperti kasus shalat yang tak akan sempurna dan sah jika tidak berwudu terlebih dahulu. Sama seperti kasus wudhu yang wajib dilaksanakan yang tanpanya shalat tidak sempurna, mereka berpandangan bahwa syariat Islam tidak akan pernah berdiri secara kokoh jika tidak ditopang oleh negara Islam.
Pertama-tama, kita pahami dulu kaidah fikih yang mengatakan bahwa ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwi bihi wajib, ‘segala sarana yang denganya suatu kewajiban akan terlaksana secara sempurna maka sarana tersebut hukumnya wajib’. Dalam kaidah ini, paling tidak ada dua konsep yang perlu diperhatikan; pertama, konsep wajib li-dzatihi, yakni kewajiban yang hukum wajibnya ada dengan sendirinya seperti shalat, zakat dan lain-lain dan kedua, wajib li-ghairihi, kewajiban sarana yang menjadi penopang bagi kewajiban yang ada dengan sendirinya.
Mendirikan negara jika kita kontekskan dengan kaidah ini termasuk ke dalam sarana (wajib li-ghorihi) bukan tujuan (wajib li-dzatihi). Artinya negara Islam adalah sarana sedangkan syariat Islam yang ingin  diberlakukan ialah tujuannya. Kewajiban mendirikan negara Islam bukan termasuk ke dalam kategori wajib li-dzatihi tapi  hanya sekedar wajib-lighoirihi. Bagaimanapun juga dalam bingkai fikih wajib li-ghoirihi posisinya lebih rendah signifikansinya daripada wajib li-dzatihi. Hal demikian dapat dilihat dalam dua poin berikut
Pertama, usaha kita untuk melaksanakan amalan yang termasuk ke dalam kategori wajib li-ghoirihi tidak boleh sama kedudukannya atau bahkan lebih diprioritaskan daripada amalan yang wajib li-dzatihi, bahkan yang wajib li-ghorihi ini, kata ar-Raysuni, tidak boleh merusak wajib li-dzatihi.
Kedua, melaksanakan amalan yang termasuk ke dalam kategori wajib li-ghoirihi ini jika dipahami hanya sebatas pada kewajiban mendirikan negara Islam, konsekwensinya jika sebagian kewajiban syariat Islam sudah terlaksana, gugurlah kewajiban mendirikan negara tersebut secara parsial.
Artinya jika sebagian besar negara-negara demokrasi memperbolehkan bagi umat Islam untuk melaksanakan segala aktifitas mereka seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka kewajiban mendirikan negara (wajib li-ghoirihi) sudah gugur dengan sendirinya karena sebagian atau bahkan keseluruhan rukun Islam (wajib li-dzatihi) sudah terlaksana.
Dan perlu diperhatikan juga bahwa pemberlakuan syariat Islam tidak mesti melalui jalur negara. Ada banyak cara untuk memberlakukannya seperti misalnya penguatan dan pemberdayaan umat. Memprioritaskan pendirian negara Islam yang hanya sebagai sarana sangat rentan dengan kepentingan politik, bahkan syarat akan terjadinya konflik berdasar kepada keyakinan agama yang justru akan merusak Islam sendiri.
Selain itu, selayaknya agenda kita lebih terfokus kepada tujuan, bukan sarana. Bagi para penganut negara khilafah, seolah sarana hal terpenting daripada tujuan. Hal demikian seperti agenda mereka yang lebih memprioritaskan yang wajib li-ghoirihi ketimbang yang wajib li-dzatihi. Padahal, mendirikan negara hanya satu dari sekian banyak sarana.
Alumni S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pernah nyantri di Darus Sunnah International Institute
islamispeace

DEEN ASSALAM (Cover By Sabyan)


https://youtu.be/KVdsO_Q47cQ

Islam Tapi Mesra

KEPERCAYAAN atau keimanan meniscayakan adanya ketulusan, kesadaran, dan cinta. Ketulusan artinya komitmen hati tanpa disertai tekanan atau paksaan. Sebab keimanan merupakan pilihan, dan pilihan hanya dapat diambil oleh seseorang yang dalam kondisi bebas berkehendak; merdeka.

Keimanan juga harus dilandasi cinta. Karena kepercayaan dan cinta merupakan dua hal yang saling berkait-kelindan dan tak bisa dipisahkan; kepercayaan adalah bukti cinta, begitupun cinta juga adalah bukti kepercayaan. Bukan kepercayaan jika tanpa cinta. Sebaliknya, tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Ini bisa dilihat dari cara pandang para sufi yang melandaskan keberagamaannya dengan cinta. Kepercayaan dan cinta tidak bisa dipaksakan.

Sufi besar muslim, Abu Manshur al-Hallaj, suatu hari di Pasar Kota Baghdad menyampaikan keberatannya ketika saat melihat seorang lelaki muslim sedang memaksakan kehendak dan membentak orang Yahudi. Ia berkata kepada lelaki itu, “Perbedaan agama itu adalah kehendak Allah. Maka janganlah mengingkari kehendak Allah yang sudah ditetapkan.”

Keimanan menjadi absurd ketika berada dalam tekanan dan paksaan. Dikatakan dalam satu ayat, “Lâ ikrâh fî al-dîn,” (tidak ada paksaan dalam beragama atau memeluk agama). Huruf “lâ” dalam ayat ini adalah huruf negasi, yang menurut gramatika Arab berfungsi sebagai nafy al-jins (menegasikan segala bentuk dan jenis yang dinegasikan). Sehingga ayat ini mengandung arti bahwa tidak boleh ada paksaan sama sekali dalam bentuk apapun dalam beragama. Kita tahu bahwa ada banyak bentuk, motif, dan jenis paksaan, misalnya paksaan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, paksaan dengan cara-cara persuasif-lunak, paksaan dengan memanfaatkan kelemahan posisi seseorang atau golongan tertentu secara ekonomi atau politik dalam bingkai relasi mayoritas-minoritas, atau paksaan dengan memanfaatkan relasi patronase, dan bahkan paksaan atas ‘nama cinta’. Dan semua bentuk paksaan tersebut dilarang keras dalam al-Qur`an.

Keimanan bisa berpijar di dalam hati seseorang oleh sebuah hidayah (petunjuk) yang bisa diusahakan dengan adanya ketertarikan yang muncul secara alamiah akibat pergolakan batin yang serius dari akselerasi pembelajaran, pengalaman hidup, atau pencarian kebenaran, atau terpikat dengan sendirinya pada ajakan (dakwah) yang elegan, bukan oleh sebuah paksaan. Paksaan dalam beriman dilarang, karena bertentangan dengan karakter keimanan yang meniscayakan adanya pilihan bebas dan cinta.

Dalam menyerukan ajarannya Islam selalu mengedepankan suri tauladan yang baik dari Nabi, tutur kata yang baik, nasihat yang baik, dakwah dan dialog dengan cara-cara paling baik. Itu pun dilakukan kepada para penganut paganisme, yang ketika Islam pertama kali diproklamirkan sebagai agama disebut sebagai penyembah berhala. Akan tetapi Islam tetap menghargai setiap keyakinan sebagaimana terlihat dalam sejarah ketika Islam masuk ke Mesir, di para sahabat Nabi tetap mempertahankan patung-patung, piramida, dan tempat peribadatan agama-agama pagan yang ada. Demikian juga ketika Islam masuk ke Persia, orang-orang Majusi yang menyembah api dihormati dan bahkan filosofinya dicoba diakulturasikan dengan tasawuf dan menghasilkan teori al-isyrâq (illuminasi).

Sedangkan kepada para pemeluk agama samawi, yang disebut sebagai Ahlul Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, Islam hanya mengajak untuk mencari titik temu, kalimatun sawâ, tidak mengajak untuk mencari titik perbedaan yang berujung pada konflik horizontal dan perang atas nama agama [QS. Ali ‘Imran: 64]. Bahkan, Islam mensyaratkan secara mutlak bahwa keabsahan iman seorang muslim adalah dengan mengimani dan meyakini kitab-kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelumnya, yaitu Taurat bagi umat Yahudi dan Injil bagi umat Nasrani [QS. al-Baqarah: 4], mengharuskan umat Muslim untuk bergaul dengan baik, dan boleh saling memberi hadiah makanan [QS. al-Ma`idah: 5].

Islam yang begitu indah dan mesra perlu dirawat, dengan mendudukkan ayat-ayat perang dan ‘terkesan’ intoleran pada konteksnya. Sebab, jika tidak maka akan berpotensi ditafsirkan secara harfiyah dan dipaksakan untuk diterapkan pada masa kini yang konteksnya berbeda. Di antaranya adalah ayat-ayat peperangan yang mewajibkan orang kafir yang kalah perang untuk membayar jizyah. Menurut Fahmi Huwaidi, seorang pemikir Mesir, dalam bukunya “Muwâthinun lâ Dzimmiyun”, bahwa pembayaran jizyah bukan aturan yang pertama kali diterapkan oleh Islam dan dunia Arab. Pembayaran jizyah oleh pihak yang kalah berperang atau daerah yang diduduki merupakan aturan perang internasional pada masa Sebelum Masehi dan berlangsung sampai Nabi Muhammad Saw. diutus. Kaisar Anusyirwan, raja Persia, abad ke-5 SM., dianggap sebagai raja yang pertama kali menetapkan undang-undang pembayaran jizyah pada negara yang diduduki. Ia menerapkan undang-undang itu pada saat Persia menguasai Asia Kecil dan Athena. Begitu juga Romawi yang menerapkan undang-undang pembayaran jizyah terhadap negara yang sekarang termasuk negara Prancis.

Jadi, persoalan pembayaran jizyah bukan persoalan teologis Islam vis-a-vis non-Islam. Akan tetapi murni persoalan politik dan undang-undang perang yang berlaku pada masanya, dan sekarang itu dianggap sudah tidak relevan, karena termasuk pelanggaran HAM. Islam sendiri akan selalu merelevankan dirinya dalam konteks tempat dan masanya, shâlih li kull zamân wa makân. Islam bersifat adaptif sebagaimana dikatakan dalam sebuah kaidah fikih, “Taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azminah wal al-amkinah,” (hukum bergerak dinamis sesuai dengan perubahan kondisi masa dan tempat).

Demikian juga ayat-ayat yang mengesankan disharmonisasi relasi antara umat Muslim dan non-Muslim itu turun dilatarbelakangi posisi defensif umat Muslim yang membela diri dari serangan non-Muslim, bukan ofensif. Karena misi Islam sejak awal adalah sebagai agama penebar kasih sayang, rahmatan li al-‘âlamîn. Islam membela dirinya demi tegaknya cinta kasih.[]

MUKTI ALI QUSYAIRI

Peneliti Rumah Kitab, mahasiswa pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

#islamispeace #kontranarasi #kontra narasi #TerorisBukanIslam #IslamAgamaDamai #TerorisRusakIslam#mediamuslim.net#



Selasa, 03 Juli 2018

Tahapan Seseorang Menjadi Radikal

Ledakan ekstremisme kekerasan seperti terorisme tak terjadi tiba-tiba. Ia bekerja selayaknya alam bekerja. Berkembang lewat proses dan masa “inkubasi” lalu meledak dalam bentuk-bentuk kekerasan tertentu. Supaya gampang dipahami, begini contohnya. Apakah masuk akal jika tak ada hujan tak ada angin, pasangan anda tiba-tiba marah? Tidak masuk akal bukan? Bisa jadi karena ia ternyata membaca pesan yang tak disukainya pada seluler Anda, seharian tak kasih kabar, pasangan Anda terlalu banyak tanya seperti reserse, atau ada sikap-sikap yang membuatnya marah. Jika sampai di sini saja Anda tak paham, pasangan Anda pasti juga bisa sangat marah. Betul?

Banyak ahli menelurkan berbagai teori dan hipotesis bagaimana proses radikalisasi bekerja. Seperti hukum alam juga, makin banyak teori yang kit abaca makin bingunglah kita. Ada Randy Borum, profesor pada College of Behavioral and Community Sciences, Universitas South Florida Amerika, yang membuat tahap menuju terorisme jadi ringkas saja: empat tahap. Bermula dari keluhan-keluhan atau ketakpuasan, berlanjut dengan perasaan tidak mendapat keadilan, naik pada usaha mencari siapa yang bertanggung jawab atas ketidakadilan, lalu berakhir dengan membuat garis antara saya, kami, dan mereka.

Saya yakin, Borum mengakui apa yang terjadi di dunia ini tak terjadi semudah itu. Saya juga yakin Mario Teguh sadar apa yang sebetulnya terjadi tak semudah yang diomongkannya. Tetapi itulah gunanya praktisi dan ahli menjadikan yang rumit jadi jauh lebih sederhana. Jika sebaliknya, membuat yang sepele jadi rumit itu pasti pekerjaan birokrasi. Tapi birokrasi juga jadi mudah jika ada calo. Betul?

Bagaimana ciri-ciri perilaku orang yang terpapar ekstremisme kekerasan juga bukan pekerjaan gampang. Mungkin saking rumitnya, mereka menutup dengan pilihan kalimat diplomatis: semuanya bergantung konteks dan dinamika “yang terjadi sedemikian rupa”. Kalimat sedemikian rupa ini sering saya dengar dari omongan pembicara yang seringkali saya tak paham maksudnya. Mungkin, maksudnya rumit sekali. Kadang saya pakai juga. Sepertinya ini setara dengan kalimat penutup di kalangan kaum santri: wallahua’lam bishawab, Allah lebih tahu yang sesungguhnya. Itu artinya akal sudah mentok!

Ada sembilan ciri orang yang mengalami radikalisasi menuju ekstremisme kekerasan. Pertama, gemar menelusuri informasi tentang ideologi ekstremisme kekerasan. Kedua, menarik diri dari masyarakat atau hubungan-hubungan sosial. Ketiga, terlibat konflik dengan keluarga atau pihak lain seperti guru atau atau tokoh-tokoh agama. Keempat, membuat perubahan gaya hidup yang dramatis seperti berhenti dari pekerjaan yang tak diharapkan atau meninggalkan rumah. Kelima, membenamkan diri dalam kelompok-kelompok ekstrem. Keenam, begabung atau tetap berada dalam organisasi ekstremis. Ketujuh, membuat pernyataan publik tentang keyakinan atau ideologi kaum ekstremis. Kedelapan, menunjukan ancaman atau niat untuk terlibat dalam aktivitas teroris. Kesembilan, terlibat dalam aktivitas persiapan terkait serangan kekerasan seperti pelatihan, mendapatkan senjata atau material lain.

Ini rumusan para ahli tiga negara yang diundang dalam sebuah konferensi National Institute of Justice (NI) Amerika tahun 2015 di bawah tema Radikalisasi dn Ekstremisme Kekerasan: Pelajaran dari Kanada, Inggris, dan Amerika. Jika dilakukan di Indonesia menghadirkan ahli dari Asia Tenggara bisa jadi terdapat beberapa hasil yang berlainan. Inilah yang saya katakan sebagai “bergantung pada konteks dan dinamika yang terjadi sedemikian rupa”.

Keluarga Dita, pelaku bom gereja di Surabaya misalnya. Mereka bukan orang yang berusaha “menarik diri dari masyarakat atau hubungan-hubungan sosial”. Mereka berbeda dengan karakter pelaku teror sebelumnya yang lebih tertutup.

Rumusan ciri-ciri di atas bagaimanapun jauh lebih baik ketimbang sekedar mengatakan ciri-cirinya berjenggot atau bercelana cingkrang. Kedua ciri ini bukan ciri yang tepat, malah kadang menimbulkan prasangka negatif. Bahwa kita juga tak boleh mengingkari kenyataan bahwa memang ada mereka yang berjenggot atau bercelana cingkrang punya ideologi ekstrem seperti ditunjukan sebagian pelaku teror. Sekali lagi perkara ini memang tidak mudah. Bergantung pada konteks dan dinamika yang sedemikian rupa

ALAMSYAH M DJA'FAR

Staf peneliti di Wahid Institute

Minggu, 01 Juli 2018

Aman Abdurrahman Divonis Hukuman Mati, Layakkah Disebut Syahid?

Berdasarkan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Aman Abdurrahman dijerat hukuman mati atas pelangaran tindak terorisme yang dilakukannya. Di samping itu, Aman sebagai penggagas dan pendiri JAD (Jamaah Anshar Daulah) dianggap telah menentang NKRI menggerakkan pengikutnya untuk melakukan serangan teror, melalui dalil-dalilnya sehingga menimbulkan banyak korban.

Namun tidak seperti kebiasaan orang pada umumnya yang menerima vonis hukuman mati, Aman Abdurrahman langsung bersujud syukur begitu mendengar putusan Hakim atas kasus yang menjeratnya tersebut. Menurutnya, vonis tersebut adalah jalan untuk mendapatkan mati syahid. Namun pertanyaannya, layakkah dia disebut sebagai syahid?

Syahid bisa diartikan dengan “yang banyak disaksikan”, sebab kelak Allah dan para malaikat akan menyaksikan mereka masuk surga dan mereka juga akan menyaksikan kenikmatan yang dijanjikan Allah kepadanya. Sementara secara terminologis, syahid berati orang yang meninggal di jalan Allah karena membela agama Allah. Kemudian syahid juga identik dengan jihad,  yang berati mencurahkan kemampuan, usaha, dan seluruh tenaga. Berikutnya, kata jihad ini mengalami perkembangan makna.

Jihad selalu diidentikkan dengan perperangan dan pertumpahan darah. Padahal bila diperhatikan dalam al-Qur’an dan hadis, jihad tidak hanya sekadar perang. Apalagi melakukan aksi terorisme dan menganggu ketertiban umum, semisal bom bunuh diri, dan menyebabkan nyawa tidak berdosa melayang. Allah bersabda

مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Artinya; barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah 32)

Serangan teror yang dilakukan Aman dan para pengikutnya tidak bisa dibenarkan baik secara syariat ataupun nalar kemanusian. Ibnu Katsir mengatakan haram hukumnya menghilangkan nyawa seseorang tanpa sebab apalagi orang tersebut tidak bersalah secara hukum. Tindakan tersebut sama saja dengan menghilangkan nyawa semua orang. Tak berlebihan sebab serangan terorisme bisa menganggu stabilitas nasional dan melumpuhkan ekonomi. Buktinya nilai saham Indonesia bisa dipastikan merosot tajam setiap aksi terisme tersebut terjadi.

Selain itu tindakan Aman Abdurrahman mengajak pengikutnya menentang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebab pemerintah Indonesia tidak menjalankan syariat islam secara penuh dengan dalih menjadikan UUD dan Pancasila sebagai dasar pemerintahan dan bukannnya Alquran dan Hadis, sehingga mereka layak disebut thaghut dan wajib diperangi, tidaklah bisa dibenarkan.
KH. Ali Musthafa Yaqub mengatakan sekalipun Indonesia belum menerapkan syariat Islam secara sempurna, hal itu tidak serta merta membuatnya menjadi negara kafir. Apalagi dalam UUD dan Pancasila sejatinya mengandung nilai-nilai maqashid syariah yang dijunjung tinggi dalam Islam. Seperti keadilan social, kemanusiaan yang adil dan beradap dan lain sebagainya.

Bahkan menurut pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, selama umat muslim bisa menegerjakan kewajiban agamanya dengan merdeka, aman tanpa ada penindasan maka daerah tersebut bisa dianggap sebagai negara Islam sekalipun dikuasai oleh orang-orang kafir. Apalagi jika negara tersebut dikuasai oleh orang islam seperti Indonesia di mana pemerintahnya mendukung pelaksanaan kewajiban-kewajiban islam. Maka aksi pemberontakan dengan menebar aksi terorisme untuk menentang pemerintah tidak bisa dibenarkan dan tentu dilarang dalam agama Islam.

Islam mengajarkan umatnya untuk taat kepada Pemerintah. Imam Nawawi menjelaskan bahwa membelot dan memerangi pemrintah adalah hal yang diharamkan menurut mayoritas ulama meskipun mereka zalim dan fasik. Nabi malah menganjurkan kita agar sabar. Kecuali jika mereka jelas-jelas melakukan kekufuran kita diperbolehkan mengkritik atau demo yang disampaikan secara konstruktif bukan destruktif. Sebagaimana pesan Nabi dalam hadis berikut

“من كره من أميره شيئا فليصبر، فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية”

Siapa pun yang tidak menyukai sesuatu (kebijakan) dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena siapa pun yang keluar sejengkal pun dari Sulthannya (kekuasaannya), maka -dikhawatirkan- dia mati dalam kondisi Jahiliyah(HR. Bukhari).

Apalagi banyak korban tidak bersalah akibat doktrin Aman, apa yang dilakukan oleh Aman dan pengikutnya tidak layak disebut jihad. Sebab jihad yang Aman dan pengikutnya lakukan sangat bertolakbelakang dengan jihad yang dilakukan di masa Nabi, dan juga para sahabatnya. Terlebih lagi, ada banyak etika Islam dan prinsip kemanusiaan yang mereka langgar. Bahkan dalam sebuah hadis diceritakan ada sahabat yang ikut perang bersama Rasulullah tapi justru masuk neraka. Sebagaimana dalam hadis berikut

التَقَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالمُشْرِكُونَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَاقْتَتَلُوا، فَمَالَ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى عَسْكَرِهِمْ، وَفِي المُسْلِمِينَ رَجُلٌ لاَ يَدَعُ مِنَ المُشْرِكِينَ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا فَضَرَبَهَا بِسَيْفِهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَجْزَأَ أَحَدٌ مَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ، فَقَالَ: «إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ»، فَقَالُوا: أَيُّنَا مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، إِنْ كَانَ هَذَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: لَأَتَّبِعَنَّهُ، فَإِذَا أَسْرَعَ وَأَبْطَأَ كُنْتُ مَعَهُ، حَتَّى جُرِحَ، فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَوَضَعَ نِصَابَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ، وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: «وَمَا ذَاكَ». فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ»

“Nabi Saw. dan orang-orang bermusyrik pernah bertemu di beberapa peperangan, lalu mereka pun berperang. Setiap orang loyal kepada kelompoknya (muslim bersama muslimin dan musyrik bersama musyrikin). Di kelompok muslimin, ada seorang (prajurit) yang tidak meninggalkan orang musyrik satupun yang tua maupun yang muda kecuali ia mengejar dan menebasnya dengan pedang. Lalu orang berkata tentangnya: ‘Ya Rasul, orang itu sempurna sekali (dalam berjihad)’. Rasulullah Saw. berkata: ‘Dia itu termasuk golongan penghuni neraka’.

Wallahu’alam.

Neneng Maghfiro

Peneliti el-Bukhari Institute dan Tim Redaksi BincangSyariahwww.mediamuslim.com
www.blogerislam.com www.islamrahmatanlilalamin.com#islamis peace #kontranarasi #kontra narasi #Teroris Bukan Islam #Islam Agama Damai #Teroris Rusak Islam#media muslim.net#blogger kontra narasi#blogger kontranarasi# visimuslim.xyz

Bagaimana Bisa Agama Kehilangan Akhlak

Tertangkapnya anak muda yang mengancam akan memenggal kepala presiden RI menambah daftar dampak absennya budi pekerti dalam pendidikan k...