- Islam dan Budaya Sebagai Pembangkit Semangat Generasi Milenial dalam Membela Bangsa dan Agama
-
- Lufaefi; Pascasarjana PTIQ JakartaGenerasi Milenial dan ProblemnyaGenerasi Milenial merupakan generasi bangsa yang lahir antara tahun 1980-2000-an. Generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakrabannya dengan media, alat komunikasi dan teknologi digital lainnya. Generasi ini memiliki pengaruh terhadap naik turunnya perpolitikan dan perekonomian di suatu wilayah. Namun yang perlu diperhatikan juga bahwa, generasi era tersebut ialah generasi yang semangat dalam membela bangsa dan agamanya sangat minim. Arus globalisasi mempengaruhi pola berfikirnya menjadi pribadi yang egoistik terhadap bangsa dan agamanya (Wikipedia, 4 Juni 2018).Persoalan-persoalan yang kian dihadapi oleh generasi Milenial pun semakin kompleks. Kedudukannya sebagai generasi pemangku bangsa dan agama menjadikan tuntutannya lebih besar untuk menjaga bangsa Indonesia di era modern sekarang. Masalah yang muncul dalam kehidupan generasi Milenial mencakup berbagai aspek kehidupan di dalam bangsanya, sebagai berikut:Pertama, rawan pendangkalan nilai kebangsaan. Generasi Milenial merupakan generasi yang selalu ingin berubah dan berinovasi dengan semaunya. Sampai-sampai inovasi yang dilakukan terkadang kebabalasan, hingga merenggut nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya dijunjung tinggi demi bangsanya. Menurut Masduki, tantangan yang dihadapi generasi Milenial adalah lemahnya kebangsaan. Dengan keinginan yang dicapai secara instan, hingga ada yang sampai menganggap demokrasi dan nasionalisme sebagai ideologi yang “haram” untuk digunakan. Pemahaman demikian merupakan pendangkalan nilai kebangsaan yang disebabkan oleh lingkungan atau media sosial yang kerang tersaring dengan benar (Mukafi, 1 Juni 2018).Kedua, rawan lunturnya paham kebhinekaan. Membaca generasi Milenial identik dengan generasi yang ingin mewujudkan sesuatu yang baru dengan menggebu-gebu. Tidak jarang keinginan individunya terangsang hanya dari pemahaman yang didapati dengan instan, sehingga kadang bertentanga dengan persoalan bangsa. Salah satunya ialah masalah keberagaman atau kebhinekaan. Generasi Milenial kadang tidak siap menghadapi kemajemukan yang padahal sudah menjadi budaya bangsa. Egosime yang tertanam dalam dada mereka membuat mengesampingkan nilai-nilai luhur kebhinekaan yang seharusnya dipahami dan diaplikasikan dengan baik. Problem inilah yang kemudian berefek munculnya ujaran kebencian di sana sini.Ketiga, pandangan keagamaan yang sempit. Jumlah penduduk muslim di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Namun meskipun demikian, Indonesia lebih memilih sistem demokrasi sebagai sistem bernegara daripada bernegara berdasarkan agama. Memotret generasi Milenial dalam problem ini ialah, bahwa generasi Milenial saat ini masih banyak yang memiliki pemahaman yang sempit terhadap pandangan keagamaan di negeri ini (Wasisto: 2017, VI). Masih banyak yang menganggap bahwa agama harus menjadi pondasi bernegara dan tidak boleh disandingkan dengan yang lain. Mereka masih banyak yang meyakini bahwa demokrasi dan agama adalah dua hal yang bertentangan secara subtansif. Agama datang dari Tuhan, dan demokrasi merupakan buatan manusia (Afifuddin: 2017, 5).Nasib Bangsa dan AgamaDua tahur terakhir, tepatnya sejak musim Pilkada 2017, bangsa Indonesia digempur dengan berbagai permasalahan. Dari mulai masalah intoleransi, ujaran kebencian (Hate Speech), politisasi agama, hingga intimidasi terhadap kelompok lain yang berbeda. Direktur Lembaga Survei Lingkar Madani Indonesia menyatakan bahwa pada Pilkada 2017, khususnya Pilkada di DKI Jakarta, telah banyak memunculkan kekhawatiran politik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang bukan saja akan berhenti setelah Pilkada tahun tersebut selesai. Akan tetapi akan menjadi senjata kejahatan bagi kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah elemen bangsa melalui isi-isu SARA yang berefek negatif terhadap bangsa ataupun agama. (Siregar, BBC Indonesia, 2017).Hal di atas diperkuat oleh pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim terkait kekhawatirannya pasca Pilkada 2017. Sebagaimana dirilis oleh Kompas, Menteri Lukman menyatakan bahwa setelah Pilkada DKI, banyak yang saling membenci antar sesama. Pilkada yang seharusnya dijadikan sebagai momen untuk memilihi seorang figur untuk masa depan, tetapi justru timbul sikap saling benci antar bangsa, terutamanya berdasar atas politisasi agama. (Krisiandi, Kompas, 2017).Jika kita tarik poin dari data di atas, ada dua hal yang patut diperhatikan, yaitu nasib bangsa dan agama. Problem-problem yang muncul sebagaimana disebut di atas bermuara pada terancamnya kesatuan bangsa. Potensi terpecah belah antar satu golongan dan golongan lain sangat besar. Bukan hanya itu, perpecahan antar pulau bahkan bisa terwujud jika masalah-masalah kebangsaan di atas terus menggema. Begitupun agama, posisinya menjadi terancam, karena agama hanya dijadikan sebagai senjata para pelacur politik yang hanya mau beragama demi tersampaikannya nafsu politik sesaat. Agama hanya dijadikan tumbal guna mendapatkan kekuasaan duniawi. Dalam posisi inilah kedudukan agama sangat rendah di mata manusia.Demikianlah potret problem yang harus diselesaikan oleh generasi milenial di era modern saat ini. Kedudukannya sangat diharapkan untuk memecahkan solusi bagi masalah-masalah agama dan negara. Selain harus melerai problem-problam pribadinya, generasi milenial juga harus berperan aktif dalam membangun bangsa dan menegakkan agama secara seimbang.Masa Depan dan Era Modernitas
Sebagaimana di atas telah disinggung, memasuki era globalisasi, tantangan yang dihadapi generasi bangsa semakin berat. Namun di sisi lain, kasadaran generasi bangsa Indonesia untuk menjaga nama baik bangsa dan menegakkan agama semakin menipis. Hal tersebut ditegaskan oleh Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Saiful Umam, yang menyatakan bahwa generasi muda kita saat ini sangat rawan terjangkit isu-is intoleransi yang membahayakan bangsa dan agama di negeri Indonesia (Republika, 2017).Akibat pola keberagamaan yang didapat seca instan, generasi muda Indonesia enggan untuk menghormati perbedaan. Masa depan mereka tergerus oleh kekangan keberagamaan yang diperoleh dengan sistem cepat saji. Padahal, Islam mengecam tindakan-tindakan intoleransi yang tidak menghargai perbedaan, baik perbedaan agama atau keyakinan. Islam juga menuntut umatnya belajar dengan cara sungguh-sungguh dan dalam waktu yang tidak instan (laisa bi tulizzaman). Karena salah satu syarat dari kesuksesan belajar adala memiliki waktu yang lama. Tentu saja, efek yang yang timbul kemudian ialah lemahnya semangat membela bangsanya sendiri. Egoisme yang dilatarbelakangi pemahaman agama yang dangkal melemahkan pergerakan generasi bangsa dalam menjaga agama dan membela bangsa.Problem generasi milenial menuju era yang semakin modern tidak bisa ditutup-tutupi. Arus globalisasi yang menggempur pemikiran mereka berakibat pada mandulnya semangat membela negaranya sendiri. Semangat nasionalisme dan menegakkan nilai-nilai agama di lingkungannya sulit untuk dicapai oleh mereka. Ditambah arus tekhnologi yang samakin pesat, menambah mereka mudah menemukan hal-hal baru yang mudah merusak budaya kebangsaan yang ada. Sampai di sini, masa depan bangsa di era kemudian akan menjadi kehawatiran yang tidak dapat tersanggahkan. Masa depan kebangsaan dan juga beragama yang baik perlu diwujudkan guna meminimalisir problem-problem di atas dan menumbuhkan semangat generasi kita.Sinergitas Islam dan Budaya Bangsa
Gus Mus, dalam satu pernyataannya, mengatakan bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia. Jika kita telaah lebih dalam, pernyataan Gus Mus ini merupakan kritik terhadap keberagamaan dan keberagaman orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama. Sebaliknya, pernyataan Kiai sekaligus Tokoh Budayawan NU itu memberi isyarat bahwa umat Islam Indonesia harus mencintai budaya nusantara. Islam dan budaya Indonesia ibarat dua sayap burung yang bersinergi dan saling mendukung untuk terbang menuju Indonesia yang diidamkan.Namun bagaimana pun, lagi-lagi, arus globalisasi yang melaju sangat kencang itu tidak dapat terhindari. Nilai-nilai budaya dalam dada generasi milenial kita lambat laun semakin memudar. Sebagai akibatnya, muncul kaum beragama yang tidak diimbangi dengan kearifan budaya lokal yang menghargai perbedaan dan menjaga bangsa dari pertikaian. M Najib dalam artikelnya menyebutkan, bahwa indikator perubahan ini bisa kita buktikan dengan generasi milenial kita yang tidak sedikit tersulut marah, kebencian, dan provokasi antar satu dengan yang lain (Najib, Jalandamai, 2017).Jadi, di sini perlunya kita menegaskan dengan lantang bahwa Islam yang sejati adalah Islam ‘elegan’ yang bisa beradaptasi dengan budaya. Islam yang sejati bukan anti budaya, tetapi justru mampu berkontribusi terhadap budaya yang sudah melekat dalam dada bangsa. Salah satu hasil budaya bangsa Indonesia ialah nilai-nilai Pancasila yang menekankan kepada sikap toleransi, peduli, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah. Kenyataan tersebut tentunya bukan saja sebagai benteng untuk menjaga NKRI yang penuh dengan keberagamaan dan perbedaan, akan tetapi sebagai modal besar untuk memajukan bangsa dan agama di era milenial yang penuh tantangan saat ini. Sinergitas antara Islam dan budaya akan membentengi gempuran globalisasi yang kian hari kian kencang menghantam pemikiran generasi bangsa kita.Islam dan Budaya Pemantik Semangat Generasi MilenialMasalah yang dihadapi generasi milenial saat ini bukan sekadar masalah individu, tetapi ialah masalah yang menyangkut masa depan bangsa. Bagaimana tidak, generasi milenial adalah generasi pemangku bangsa. Posisinya yang akan menentukan akan dibawah kemana bangsa ini. Jika mereka lemah dalam membela bangsanya sendiri dikarenakan arus globalisasi yang menggempur pemikirannya, ditambah pengetahuan agamanya lemah, dapat dipastikan hancurlah negeri ini. Jargon Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan mudah dihancurkan oleh pihak-pihak yang memiliki keinginan merubah negeri ini menjadi negeri berbasis khilafah. Tanpa semangat membela bangsa dan menegakkan agama rasanya mustahil generasi milenial kita dapat mempertahankan warisan bangsa yang besar ini.Ngatawi al-Zahtrow, pakar sejarah dan budaya Indonesia, mengatakan bahwa budaya menjadi metode dalam menyampaikan agama agar mudah diterima oleh banyak orang. Dalam konteks keindonesiaan, menggali nilai-nilai Pancasila merupakan kunci keharmonisan antara Islam dan budaya. Melalui Pancasila itu juga, persatuan masyarakat Indonesia akan terus terpupuk. Pancasila merupakan produk budaya bangsa untuk mencari titik temu dalam keberagaman bangsa Indonesia (Syafirdi, Merdeka.com, 2028).Sinergitas antara agama dan budaya tidak saja akan memberi bekas sikap toleransi kepada generasi milenial saat ini, akan tetapi, perpaduan tersebut juga akan membuat negeri kokoh dan maju. Sebagaimana itu menurut Rektor UIN Bandung Prof Mahmud dalam acara seminar bertemakan “Sinergitas Agama, Budaya dan Negara” yang diadakan oleh UIN Bandung pada akhir April 2018 lalu.Kesimpulan
Tidak dapat disangga oleh siapa saja bahwa saat ini generasi milenial sebagai generasi pemangku bangsa dan penentu masa depan bangsa sedang digerogoti oleh arus globalisasi yang sangat ganas. Kanker ganas itu tidak saja menyerang masa depan pribadi setiap mereka. Akan tetapi berdampak kepada matinya pembelaan generasi kita dalam membela bangsa dan menegakkan agama. Kemajuan teknologi yang dapat diakses dengan bebas di mana saja dan kapan saja juga ikut andil dalam mencekoki pemahaman kebangsaan dan keagamaan generasi milenial. Mereka mudah tersulut oleh isu-isu hoax yang berseliweran di layar Gadgetnya setiap saat. Puncaknya, egoisme keagamaan dan egoisme keberagaman bersarang di pundak mereka.Memandang kondisi dan fakta generasi bangsa di atas, peran Islam dan budaya untuk membangkitkan semangat membela bangsa dan menegakkan agama generasi milenial sangat diharapkan. Sinergitas Islam dan budaya merupakan satu-satunya solusi untuk menyudahi, atau minimal meminimalisir lemahnya semangat berbangsa dan beragama yang benar. Islam sebagai agama cinta dan kasih sayang menuntun umatnya untuk menjadi umat wasatan (moderat) dan menghargai perbedaan, pun demikian, Islam mendorong umatnya untuk mencintai bangsa dan negara. Sementara budaya bangsa yang sudah melekat dalam sanubari bangsa Indonesia juga mengapresiasi nilai-nilai perbedaan. Nilai-nilai Pancasila merupakan produk budaya bangsa Indonesia sebagai senjata ampuh melerai pertikaian antar kelompok. Dengan menyinergikan antar keduanya, maka akan tumbuh semangat berbangsa dan beragaman kaum milenial. Memahami ajaran Islam yang tepat dan membuka lembara sejarah bangsa akan menyulut semangat generasi milenial untuk membela bangsa dan menegakkan agama. Karena agama yang sejati menempatkan posisi budaya di tempat yang luhur. Sebab budaya merupakan akar dalam menciptakan kemajuan bangsa dan agama di seluruh aspeknya.
Kamis, 14 Maret 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagaimana Bisa Agama Kehilangan Akhlak
Tertangkapnya anak muda yang mengancam akan memenggal kepala presiden RI menambah daftar dampak absennya budi pekerti dalam pendidikan k...
-
Akhir-akhir ini dunia maya sedang dihebohkan dengan narasi Islamophobia. Salah seorang politisi Senayan seringkali bercuit ( tweet ) te...
-
Apakah Indonesia bisa berkontribusi untuk perdamaian dunia? Pertanyaan ini yang membuat para ulama dan tokoh agama berkumpul di tengah ...
-
Khawarij, salah satu aliran dalam sejarah islam yang merasa paling benar dan kerap menyalahkan yang lain, ternyata mewujud dalam konteks ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar