Senin, 13 Agustus 2018

Konteks Islamophobia di Barat, Benarkah di Indonesia Juga Ada?


Akhir-akhir ini dunia maya sedang dihebohkan dengan narasi Islamophobia. Salah seorang politisi Senayan seringkali bercuit (tweet) tentang Islamphobia dan anti Islam yang disematkan pada pemerintahan Joko Widodo. Narasi tentang Islamophobia kemudian terus diproduksi seolah-olah umat Islam di Indonesia berada dalam ancaman besar. Lalu muncul pertanyaan, apakah benar demikian? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islamophobia dan anti Islam?
Guna menjawab pertanyaan di atas, kita perlu merunut terlebih dahulu sejarah kemunculan Islamophobia di Barat. Karena memang, tidak bisa dipungkiri bahwa asal-usul istilah tersebut memang muncul seiring dengan berkembangnya Islam di belahan dunia Barat.
Dalam buku berjudul Islamophobia/Islamophilia: Beyond the Politics of enemy and Friends,Andrew Shryock mencatat bahwa istilah Islamophobia pertama kali muncul di tahun 1997 dalam laporan berita the Runnymede Trust, sebuah kanal berita Inggris, dengan judul Islamophobia: a Challenge for Us All. Berita tersebut menyoroti masalah sentimen anti-Islam di Inggris yang ketika itu posisi penduduk Muslim adalah konstituen politik yang cukup kuat.
Sejak saat itu warga Muslim minoritas yang tinggal di Eropa dan Amerika mulai aktif membendung gerakan anti-rasisme dan anti-Islam. Sayangnya, peristiwa 9/11 yang terjadi pada tahun 2001 menyebabkan gelombang Islamophobia semakin menguat. Bentuk nyata dari hal ini adalah aksi-aksi vandalisme yang diarahkan pada simbol-simbol Islam terutama masjid, gerakan protes di jalanan, dan bahkan individu Muslim menjadi korban bullying dan penyerangan fisik.
Gambaran media Barat tentang Islam dan dunia Arab yang melulu seputar peperangan turut memperparah keadaan. Tokoh-tokoh konservatif sayap kanan seperti Daniel Pipes, menurut Andrew Shyrock, juga turut andil dalam mendefinisikan Islam sebagai agama yang gemar melakukan kekerasan. Contoh yang paling kentara dari peristiwa politik adalah pertentangan antara Donald Trump dan Hilary Clinton dalam melihat Islamophobia di Amerika.
Dalam video rekaman ABC news yang menyiarkan debat kandidat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyindir Clinton yang enggan menyebut Islam sebagai radikal dan teror. Bagi Trump, Muslim Amerika harus didata dan melapor secara berkala agar negara dapat memantau gerakan Islam radikal. Akan tetapi Clinton menegaskan bahwa visinya terhadap Muslim Amerika adalah setara dengan penduduk lain dan tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap penduduk Muslim. Kenyataan yang digambarkan oleh Clinton dan Trump adalah bentuk konkret bahwa respons terhadap Islam di Barat tidaklah monolitik. Oleh karenanya, kita tidak bisa pula menggeneralisasi Amerika jahat terhadap Islam.
Atas dasar catatan berita 1997 dan realitas pasca peristiwa 9/11 bisa kita definisikan bahwa Islamophobia adalah bentuk ketakutan terhadap komunitas Muslim dengan cara melakukan aksi diskriminatif dan represi.
Lalu tepatkah anti-Islam disematkan dalam konteks Indonesia? Jawabannya menurut penulis adalah tidak tepat. Hal ini tampak dalam keseharian kita di Indonesia bahwa semua elemen masyarakat dapat hidup dengan baik dan saling menghargai satu sama lain. Terlebih bagi penduduk Muslim, mereka dapat berkegiatan dengan bebas tanpa ada kendala suatu apa pun. Bahkan kita tidak bisa pungkiri bahwa Kementerian Agama sebagian besar mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan umat Islam, mulai dari urusan pendidikan hingga urusan haji.
Dengan demikian, penggunaan istilah Islamophobia dan anti-Islam bisa dikatakan sebagai pilihan yang kurang tepat dan kurang bijak. Tidak saja dapat memancing konflik antara umat Islam, akan tetapi juga dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Demokrasi yang sedang terus dibangun di Indonesia menuntut kita agar semakin dewasa dalam melihat perbedaan, khususnya perbedaan pandangan politik.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menekuni studi tafsir, dan peraih beasiswa LPDP

http://mediamuslim.net

Senin, 06 Agustus 2018

Mencintai Indonesia Adalah Bagian Dari Keimanan Saya

Beberapa hari yang lalu saya mendampingi seorang kyai menghadiri kegiatan dzikir di Istana Negara. Salah satu tujuan kegiatan tersebut yakni semoga lantunan dzikir para kyai, habaib dan alim ulama mengetuk pintu langit agar bangsa kita makmur dan tentram menjelang Asian Games.
Secara pribadi, saya percaya dzikir merupakan salah satu energi umat Islam. Semoga jika dilakukan bersama-sama, energi umat tersebut menjadi energy of Asia yang membantu Indonesia di ajang Asian Games.
Gaes, tulisan ini bukan menyoal Asian Games, namun ini tentang intropeksi pribadi betapa kita (atau barangkali hanya saya pribadi) senantiasa lupa berdoa, berdzikir dan juga bertawasul kepada para pejuang bangsa yakni pahlawan, atlet dan orang yang membawa nama bangsa dan negara di kancah internasional.
Walau tidak secara langsung berefek kepada kehidupan kita, tetapi mereka juga mewakili kita untuk berjuang di ranahnya masing-masing. Mungkin karena kita terlalu sibuk menjadi “Kampret” dan “Cebong”, hingga tidak punya waktu dan energi untuk bekerja pada hal yang lebih subtansial demi bangsa, negara dan agama.
Nasionalisme Ada Dalilnya
Sekali lagi, tiap mereka yang berjuang mengatasnamakan bangsa dan negara adalah pejuang bangsa. Baik dengan otot maupun dengan otak. Sikap dan perilaku mereka yang berjuang demi bangsa dan negara itulah yang disebut mencintai tanah air (nasionalisme).
Hal ini sesuai surah at Taubah ayat 122.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).
Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadlih Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan. Kewajiban setingkat untuk jihad perang dan mempertahankan harga diri tanah air. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil. Jadi, karena wajib tentu nasionalisme bagian yang harus dimiliki umat muslim.
Nasionalisme Bagian dari Iman
.
Masih menurut Syekh Muhammad Mahmud, bahwa berjuang dengan pedang jika dalam kondisi perang dan berjuang lewat argumentasi keilmuan akan memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci.
Saya lalu teringat sebuah jargon hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari Iman) yang digelorakan KH Hasyim Asy’ari. Jargon ini seolah menerangkan nasionalisme yang benar keluar dari hati beriman. Sehingga jika ada mengaku orang beriman, namun masih tidak punya rasa persaudaraan setanah air (ukhuwah wathoniyah) kepada yang berbeda, apalagi berbuat tindakan radikalisme. Keimanannya masih menye-menye.
Penutup, saya akan berpesan tulisan ini tidak berlaku untuk yang bersepakat mencintai Indonesia tidak ada dalilnya. Tidak apa-apa. Berbeda itu biasa. Luar biasa dan luar nalar itu, jika mengaku nasionalisme tidak ada dalilnya, namun ikut menikmati gegap gempita Asian Games dan berburu diskon HUT RI 73. Wallahu’alam bishawab
Saiful Haq
SAIFUL HAQSantri Milenial dan Pegiat Gusdurian. Sedang merampungkan Studi Pascasarjana di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta

Kamis, 02 Agustus 2018

Imam Ghozali dan Tuduhan Kafir Sesat


Permusuhan antar kelompok di kalangan umat manusia, termasuk dalam masyarakat Islam hampir selalu ada pada setiap zaman dan segala ruang. Banyak alasan mengapa ia terjadi. Ada perebutan kuasa, ada kecemburuan atas kenikmatan, ada karena idelogi yang berbeda, ada karena keterbatasan pengetahuan dan sebagainya.

Tokoh-tokoh besar yang menjadi pemimpin komunitas tak luput dari tuduhan sesat, kafir, munafik dan seterusnya. Caci maki dan kata-kata kasar berhamburan ditujukan kepada mereka ini. Para pengikutnya juga mengalami hal yang sama. Pada umumnya atau yang sering terjadi adalah serangan kelompok konservatif tekstualis ketat terhadapk kritis-progresif.

Ini pernyataan Imam al-Ghazali (w.1111 M), dalam bukunya: Faishal al-Tafriqah Baina al-Islam wa al-Zandaqah”.

Sahabat, aku melihatmu sedang dirundung gelisah, berduka dan pikiranmu kacau. Ini gara-gara engkau mendengar caci-maki orang-orang itu terhadap pikiran-pikiranku yang aku tulis dalam sejumlah buku. Mereka menyatakan bahwa pikiran-pikiran dan pendapat-pendapatku bertentangan dengan pandangan al-Salaf al-Shalih (generasi awal yang saleh) dan para guru ilmu Kalam.

Sahabat yang sedang dirundung duka lara. Engkau tak perlu bersedih hati. Bersabarlah atas ucapan-ucapan cemooh mereka yang menyakitkanmu itu. Tinggalkan melayani mereka secara baik-baik. Anggap saja itu angin lalu. Tak usah juga dipusingkan oleh mereka yang tak mengerti tentang apa yang sesungguhnya makna ‘kafir’ dan “bid’ah” (sesat) itu?.

Manusia paling baik dan paling terhormat di muka bumi, Nabi Muhammad saw, utusan Tuhan, tak luput dari caci maki dan tuduhan semacam itu oleh beberapa orang keluarganya, teman-temannya, kaumnya sendiri yang tak paham. Nabi disebutnya sebagai “orang gila” (majnun). Ucapan-ucapan orang paling mulia itu dianggap mereka sebagai “dongeng” dan “mitos” dan cerita legenda belaka. Tak usah engkau menyibukkan diri melayani dan membungkam mulut mereka yang tak paham itu. Tak ada gunanya. Teriakan apapun terhadap mereka tak akan menggoyahkan pendirian mereka. Bukankah anda pernah mendengar puisi ini :

كل العداوات قد ترجى سلامتها
إلا عداوة من عاداك من حسد

“Semua permusuhan dapat diharapkan penyelesaiannya, kecuali permusuhan orang yang dengki kepadamu”.

Bagaimana Bisa Agama Kehilangan Akhlak

Tertangkapnya anak muda yang mengancam akan memenggal kepala presiden RI menambah daftar dampak absennya budi pekerti dalam pendidikan k...